Spiga

Ketika Maskapai Penerbangan Buka Resto dan Jual Gorengan


Singapore Airlines buka restorant,
Malaysia Airlines juga.
Thai Airways jualan gorengan.
Pizza Hut, Burger King, dan brand makanan global lain turun ke jalan, saingan sama mie ayam dan gorengan odading odang
Beneran deh ya, during tough time, attitude is everything. Mau nyerah kalah atau berjuang sampe titik terakhir ?
Industri penerbangan dunia terpuruk, bahkan tercancam kebangkrutan. Situasi yang berat ini juga dialami maskapai-maskapai di Asia Tenggara yang menjadi national flag carrier seperti Garuda Indonesia, Singapore Airlines (SQ), Malaysia Airlines (MH), dan Thai Airways. Sejumlah strategi telah dilakukan seperti restrukturisasi utang hingga melihat peluang bisnis yang sama sekali baru. Efektifkah strategi tersebut?
Restrukturisasi Utang
Dari banyak sektor yang terpuruk akibat covid-19, sektor penerbangan adalah salah satu yang terimbas paling parah. Merujuk data dari ICAO (International Civil Aviation Organization), hingga kuartal ketiga tahun 2020, penurunan jumlah penumpang pesawat udara di seluruh dunia mencapai 62% atau sekitar 2,9 miliar penumpang. Dari jumlah tersebut, untuk Kawasan Asia Pasifik, selama periode 2020 turun sekitar 628 juta penumpang.
Berapa kerugian maskapai penerbangan akibat penurunan jumlah penumpang tersebut? Dari catatan ICAO, industri penerbangan sipil dunia berpotensi kehilangan pendapatan hingga USD 400 miliar (sekitar Rp 5.800 triliun) hingga akhir 2020. Dari potensi pendapatan yang hilang tersebut, Kawasan Asia Pasifik menyumbang kerugian sekitar USD 89 miliar (sekitar Rp 1.290 triliun).
Dari data tersebut, kita bisa melihat bagaimana kinerja sektor penerbangan sipil terjun bebas dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Ketika load factor sudah tidak bisa lagi diandalkan, bagaimana perusahaan penerbangan bersiasat menghindari kebangkrutan? Berikut beberapa strategi yang dilakukan Garuda Indonesia, SQ, Thai, dan Malaysia Airlines.
Garuda Indonesia dan Malaysia Airlines memilih untuk fokus pada upaya restrukturisasi keuangan. Dalam keterbukaan informasi yang disampaikan manajemen PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) kepada Bursa Efek Indonesia, periode Januari hingga Agustus 2020, jumlah penumpang Garuda turun 72 persen dan trafik kargo turun 50 persen. Penulis mencoba membuka mobile app Garuda Indonesia dan mengecek jadwal penerbangan dari Jakarta ke Surabaya. Pada situasi normal, sebelum pandemic covid-19, rute Jakarta-Surabaya PP adalah rute Garuda yang paling padat. Bahkan hampir tiap jam ada penerbangan pada rute tersebut, mungkin satu hari lebih dari 30 kali (PP). Tetapi saat ini, rute Jakarta-Surabaya, berdasarkan informasi dari Garuda mobile app, tinggal 6 kali. Tentu saja, banyak fleet yang menganggur akibat pengurangan frekeunsi penerbangan tersebut.
Menghadapi situasi sulit ini, seperti dalam keterbukaan informasi tersebut, manajemen Garuda berfokus pada upaya restrukturisasi keuangan termasuk menunda pembayaran sewa pesawat, memperpanjang masa sewa pesawat untuk mengurangi biaya sewa per bulan, jmenegosiasikan kewajiban Garuda yang akan jatuh tempo dengan pihak ketiga. Kelima, melakukan program efisiensi biaya dengan tetap memprioritas keselamatan dan keamanan penerbangan dan pegawai serta layanan.
Hal lain yang juga diharapkan Garuda adalah pencairan dana talangan pemerintah senilai Rp 8,5 triliun yang merupakan bagian dari program PEN (pemulihan ekonomi nasional). Dirut Garuda Irfan Setiaputra, seperti dikutip media, menyatakan pencairan dana talangan Rp 8,5 triliun tersebut masih dalam proses.
Langkah restrukturisasi pinjaman juga dilakukan oleh Malaysia Airlines. Namun, kondisi Malaysia Airlines tampaknya jauh lebih berat jika dibandingkan Garuda. Sebab, bisnis dan reputasi Malaysia Airlines belum sepenuhnya pulih akibat jatuhnya MH 370 dan MH 17. Saat ini, proses restrukturisasi utang senilai MYR 5,5 miliar (sekitar Rp 19,2 triliun) sedang dilakukan dan jika kreditor menolak usulan restrukturisasi utang tersebut, Malaysia Airlines terancam dipailitkan. Apalagi pemerintah Malaysia menolak untuk membantu memberikan talangan kepada Malaysia Airlines.
Namun kondisi Malaysia Airlines ini masih lebih baik dibandingkan dengan maskapai berbiaya murah Air Asia yang menanggung utang hampir MYR 63,5 miliar (sekitar Rp 222 triliun).
Jual Gorengan
Yang unik justru dilakukan Singapore Airlines dan Thai Airways. Seperti halnya berbagai maskapai lain dunia yang terpuruk akibat penurunan jumlah penumpang dan persoalan utang, SQ dan Thai menghadapi persoalan yang sama. Namun selain melalukan restrukturisasi keuagan dan bisnis, kedua maskapai tersebut juga membuka usaha baru yaitu restoran. Banyak yang menilai siasat ini hanyalah sebagai gimmick alih-alih sebagai pengganti sumber pendapatan dari penumpang yang hilang.
Manajemen SQ termasuk yang paling kreatif di tengah krisis saat ini. Salah satu yang unik adalah mengubah tiga pesawat berbadan lebar Airbus A380 yang terparkir di Bandara Internasional Changi menjadi restoran. Tentu saja, secara kalkulasi bisnis, usaha restoran ini tidak bisa diandalkan tetapi ini merupakan strategi CRM (customer relationship management) yang dilakukan untuk menjaga kedekatan brand SQ dengan para pelanggannya.
Yang menarik dari restoran yang akan dibuka 24 dan 25 Oktober ini, ambiance-nya dibuat persis sama dengan ketika kita
terbang di dalam pesawat.
Menu-menu yang disajikan juga persis seperti menu-menu saat kita terbang, dan untuk pembayarannya juga bisa dilakukan dengan menukarkan mileage di Kris Flyer. Reservasi untuk makan di restoran A380 ini sudah bisa dilakukan Senin (12/10). Tidak hanya membuka restoran, menyiasati pesawat-pesawat yang tidak terpakai, SQ juga membuka training center mereka untuk dikunjungi wisatawan.
Sementara itu, Thai Airways yang terancam bangkrut bahkan mungkin sudah bangkrut karena terbelit utang Rp 162 triliun, membuka usaha gorengan. Secara image, memang terjun bebas, dari bisnis penerbangan ke jualan makanan gorengan di pinggir jalan. Namun, Presiden Thai Airways, Chansing Treenuchagron, optimistis akan prospek bisnis gorengan ini bahkan omzetnya bisa mencapai Rp 4,7 miliar sebulan. Belum ada kabar terbaru, bagaimana proses restrukturisasi utang Thai Airways tersebut.
Pandemik covid-19 telah memukul banyak sektor bisnis. Peta bisnis dunia menjadi berubah total. Namun belajar dari SQ dan Thai Airways tersebut, di tengah situasi krisis yang berat sekalipun, tetap harus kreatif dan menjaga roda bisnis berjalan meskipun harus banting setir menjual gorengan.(*)

Coba lihat sekeliling anda, banyak peluang yg bisa dilakukan dimasa sulit ini, agar tetap menghasilkan income dan roda kehidupan kembali normal dengan cara tetap "Dirumah saja"

 Harian DI’s Way 12 Oktober 2020 Oleh: Tofan Mahdi*)

*) Penulis adalah Redaktur Tamu Harian DI’s Way dan seorang business traveller



BACA JUGA ARTIKEL:

- Keajaiban Usapan Tangan untuk Kecerdasan dan Kesehatan

- Pelajaran Sepele Yang Berefek Besar untuk Masa Depan Anak


Tonton Video :

- Kekuatan Ucapan = Doa


Kunjungi juga : Peluang Usaha Apotik Keluarga

Komentar


0 comments: